Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
ngotot mempertahankan kebijakan ujian nasional dengan berbagai cara.
Salah satunya melalui konvensi UN baru-baru ini. Kemdikbud bahkan
menghadirkan politisi senior Jusuf Kalla untuk meyakinkan masyarakat
bahwa UN perlu dipertahankan dengan perbaikan teknis di sana-sini.
Akan tetapi, ada kontroversi di sini.
Kalau sebelumnya Mendikbud berwacana bahwa urusan UN adalah ikhwal
akademik, konvensi UN justru mencari justifikasi politis.
Makin janggal lagi ketika Kemdikbud
justru menyibukkan diri dengan persoalan teknis, seperti pencetakan soal
UN, tidak fokus pada persoalan-persoalan strategik kebijakan. Jadi,
pendidikan nasional seperti lari cepat dengan membawa beban berat,
tetapi ke arah yang salah!
Tulisan Acep Iwan Saidi dan Abduh Zen
baru-baru ini di harian ini pula telah menguliti sesat pikir dan legal
kebijakan UN. Dapat dipastikan UN akan terus menjadi polemik nasional
justru karena Kemdikbud kurang fokus pada arah pendidikan di lanskap
baru abad ke-21.
Anggaran yang besar untuk Kemdikbud
terbukti tidak efektif meningkatkan relevansi pendidikan nasional karena
Kemdikbud keliru mengambil pertempuran yang sebenarnya. Masalah
pendidikan kita tidak di UN, tetapi di sekolah.
Penyakit kronis
UN sebenarnya hanya gejala dari penyakit kronis yang disebut schoolism.
Ini seperti demam akibat malaria. Ini adalah penyakit yang muncul
akibat menyamakan pendidikan dengan persekolahan. Anak yang tidak
bersekolah langsung dianggap kampungan dan tidak terdidik.
Orang yang tidak punya gelar dianggap
tidak kompeten. Para pejabat negara berlomba memburu gelar dengan cara
apa pun agar dianggap kompeten.
Saat ini, kita melihat semakin banyak
sekolah dan kampus dibangun, tetapi masyarakat kita tidak lebih
terdidik. Ketua Mahkamah Konstitusi yang ditangkap KPK baru-baru ini
adalah doktor hukum. DPR dipenuhi orang dengan gelar akademik, tetapi
DPR adalah salah satu lembaga publik paling korup.
Salah satu fitur paling mencolok dari
peradaban yang dengan congkak kita sebut modern ini adalah kerusakan
lingkungan, konsumerisme, kehancuran rumah tangga, dan sekolah!
Memang sejak semula sekolah diciptakan
sebagai pendukung pokok industri yang berkembang selama 200 tahun
terakhir ini dengan menyediakan tenaga terampil untuk bekerja di
pabrik-pabrik skala besar.
Sejarah menunjukkan kemudian bahwa
tugas pendidikan oleh keluarga di rumah diambil alih sekolah dan tugas
produktif berbasis rumah tangga berskala kecil diambil alih pabrik.
Mulailah kita saksikan kehancuran
lembaga keluarga. Data menunjukkan bahwa saat ini terjadi sekitar 35
perceraian per jam di Indonesia.
Tawuran pelajar, penyalahgunaan
narkotika, penggunaan kendaraan bermotor tanpa SIM, angka kematian ibu
melahirkan yang tinggi, dan gizi buruk adalah bukti betapa keluarga
Indonesia saat ini dalam kondisi menghadapi tantangan besar, tetapi
dilupakan dalam banyak kebijakan publik.
Perilaku pelajar di bawah umur yang
menyebabkan kecelakaan maut baru-baru ini oleh Daoed Joesoef disebut
salah asuhan. Saya menyebutnya salah asuhan sekolah saat keluarga tidak
lagi kompeten mendidik anak-anak yang dilahirkan. Maka, sekolah saat ini
praktis beroperasi seperti panti asuhan yatim piatu.
Pelemahan keluarga
Bersamaan dengan pelemahan lembaga
keluarga, sekolah menjadi tempat untuk menyombongkan diri. Konsep diri
anak tidak dibentuk di rumah, tetapi di sekolah atau di luar sekolah,
seperti geng motor.
Banyak pelajar di Kamal, Madura,
kebut-kebutan menjelang maghrib hampir setiap hari dengan suara knalpot
yang memekakkan telinga. Ikatan alumni sekolah ”favorit” menjadi simbol
kebanggaan kelompok masyarakat tertentu, sementara alumni sekolah
pinggiran kehilangan kepercayaan dan harga diri.
Perkembangan zaman membuat gelombang
internet datang merobohkan tembok- tembok sekolah. Hampir semua
pertanyaan murid bisa dicari jawabnya di internet, bahkan jauh lebih
kaya daripada jawaban yang diberikan oleh kebanyakan guru. Sir Ken
Robinson mengatakan bahwa sekolah sudah tidak kita butuhkan lagi.
Sugata Mitra juga membuktikan bahwa anak-anak yang normal tidak membutuhkan sekolah untuk belajar. Dia menyebut self-organized learning environment (SOLE)
dengan kurikulum yang lentur menyesuaikan kebutuhan, bakat, dan minat
anak bisa mengganti sekolah dengan biaya jauh lebih murah, tetapi jauh
lebih efektif untuk belajar.
Sebelum internet ada, 40 tahun lalu, Ivan Illich telah mengusulkan jejaring belajar (learning webs) untuk menggantikan sistem persekolahan. Sekolah bisa menjadi salah satu simpul dalam jejaring belajar ini.
Pusat-pusat kegiatan masyarakat,
seperti toko, bengkel, pasar, klinik, museum, perpustakaan, radio, kebun
binatang, bahkan kantor polisi dan terminal, bisa menjadi simpul-simpul
SOLE yang menyediakan kesempatan magang dan learning by
doing atau learning by making things. Keluarga adalah salah satu SOLE
terpenting dalam jejaring belajar tersebut. Belajar dan bekerja terjadi
sekaligus dan sistemik.
Saat peran sekolah semakin berkurang
dalam sistem pendidikan kita pada era digital baru, keluarga di rumah
perlu kita perkuat agar mampu memikul tugas-tugas pendidikan dan
produktif. Di tengah krisis lingkungan, krisis ekonomi, dan krisis
keluarga dalam skala global ini, harapan kita terletak di rumah, tidak
di sekolah.
Daniel Mohammad Rosyid ; Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
KOMPAS, 07 November 2013
0 komentar:
Posting Komentar