Para pelatih topeng monyet adalah ahli
pengajaran yang efektif. Kita sering tertawa, bahkan takjub, melihat
bagaimana monyet-monyet begitu terampil mengendarai sepeda kecil, pergi
ke pasar membawa tas belanja, becermin menghias diri, memakai payung
hujan, bersalto, berjalan menggunakan egrang, melakukan salat, bermain
musik dengan gitar, serta meminta uang receh.Para
pelatih ini sangat mengerti salah satu dasar dalam pendidikan: tubuh
sebagai tempat dan pusat pengajaran. Seperti dalam klasifikasi umur
dalam menentukan jenjang pendidikan, dalam memilih monyet untuk dilatih,
mereka juga memperhatikan umur psikologis monyet. Biasanya monyet yang
gampang dilatih adalah jenis ekor panjang (Macaca fascicularis)
dan umurnya di bawah satu tahun. Mereka menyadari potensi tubuh monyet
untuk diajari sesuai dengan keinginan mereka. Mereka sadar bahwa tidak
mungkin pendidikan-pengajaran mengabaikan peranan dan eksistensi tubuh.
Dalam mengajarkan berbagai keterampilan atraktif, secara tidak langsung dan meskipun mereka tidak pernah membaca filsafat psikologi behaviorisme, mereka telah melakukannya dengan sangat baik. Sejak J.B. Watson menerbitkan buku Behaviorism pada 1924 yang segera menjadi klasik, behaviorisme (pernah) menjadi pemikiran yang sangat berpengaruh dalam psikologi, termasuk psikologi pendidikan dan pengajaran. Behaviorisme pada awalnya sebagai bentuk kritik terhadap psikologi yang lebih banyak difokuskan pada kajian perilaku mental/jiwa dengan tujuan introspeksi seperti yang dilakukan Wilhelm Wundt, Edward Titcher, atau William James. Lagi pula, psikologi kaum introspeksionis ini sering dianggap kurang andal dan subyektif untuk menggambarkan obyek kajian karena terlalu dominannya konsep-konsep sebagai fondasinya.
Kesimpulan pokok dari behaviorisme adalah bahwa semua perilaku adalah akibat efek penguatan (the effect of reinforcement). Perilaku adalah tanggapan logis, mekanis, dan simultan terhadap stimulus yang diberikan, seperti ganjaran, hadiah, nilai, pahala (reward), atau hukuman, ancaman, intimidasi, dan denda (punishment). Perilaku terbentuk sebagai kejadian yang diulang-ulang atau pembiasaan (Alfred Lough, 1998: 44). Dalam kasus topeng monyet, stimulus yang diberikan untuk merekayasa perilaku monyet adalah makanan dan hukuman. Ini hampir sama dengan berpuasa dalam agama-agama, sebagai bentuk melatih tubuh. Mereka mampu melatih perilaku monyet sesuai dengan atraksi yang mereka inginkan. Meskipun manusia dan monyet memiliki bahasa yang berbeda, jelas monyet merespons terhadap stimulus yang diberikan.
Kelebihan pendekatan behaviorisme adalah sisi aplikatif dan eksperimentalnya yang sangat kuat sehingga bisa dilakukan dan diuji coba berulang kali. Maka, menurut salah satu psikolog behaviorisme, B.F. Skinner, behaviorisme bisa dimasukkan dalam aparatus ideologis karena bisa begitu gampangnya digunakan untuk merekayasa manusia untuk tujuan-tujuan yang sudah didesain dan dikehendaki. Pelatihan militer masih sering menggunakan pendekatan behaviorisme ideologis ini. Model ujian nasional yang heboh itu sedikit banyak sebenarnya bisa dilihat sebagai bentuk aplikatif psikologi behavioristik dalam pendidikan dengan pemaknaan dan penekanan pada nilai hasil ujian yang terlalu (keterlaluan?) dominan.
Dalam mengajarkan berbagai keterampilan atraktif, secara tidak langsung dan meskipun mereka tidak pernah membaca filsafat psikologi behaviorisme, mereka telah melakukannya dengan sangat baik. Sejak J.B. Watson menerbitkan buku Behaviorism pada 1924 yang segera menjadi klasik, behaviorisme (pernah) menjadi pemikiran yang sangat berpengaruh dalam psikologi, termasuk psikologi pendidikan dan pengajaran. Behaviorisme pada awalnya sebagai bentuk kritik terhadap psikologi yang lebih banyak difokuskan pada kajian perilaku mental/jiwa dengan tujuan introspeksi seperti yang dilakukan Wilhelm Wundt, Edward Titcher, atau William James. Lagi pula, psikologi kaum introspeksionis ini sering dianggap kurang andal dan subyektif untuk menggambarkan obyek kajian karena terlalu dominannya konsep-konsep sebagai fondasinya.
Kesimpulan pokok dari behaviorisme adalah bahwa semua perilaku adalah akibat efek penguatan (the effect of reinforcement). Perilaku adalah tanggapan logis, mekanis, dan simultan terhadap stimulus yang diberikan, seperti ganjaran, hadiah, nilai, pahala (reward), atau hukuman, ancaman, intimidasi, dan denda (punishment). Perilaku terbentuk sebagai kejadian yang diulang-ulang atau pembiasaan (Alfred Lough, 1998: 44). Dalam kasus topeng monyet, stimulus yang diberikan untuk merekayasa perilaku monyet adalah makanan dan hukuman. Ini hampir sama dengan berpuasa dalam agama-agama, sebagai bentuk melatih tubuh. Mereka mampu melatih perilaku monyet sesuai dengan atraksi yang mereka inginkan. Meskipun manusia dan monyet memiliki bahasa yang berbeda, jelas monyet merespons terhadap stimulus yang diberikan.
Kelebihan pendekatan behaviorisme adalah sisi aplikatif dan eksperimentalnya yang sangat kuat sehingga bisa dilakukan dan diuji coba berulang kali. Maka, menurut salah satu psikolog behaviorisme, B.F. Skinner, behaviorisme bisa dimasukkan dalam aparatus ideologis karena bisa begitu gampangnya digunakan untuk merekayasa manusia untuk tujuan-tujuan yang sudah didesain dan dikehendaki. Pelatihan militer masih sering menggunakan pendekatan behaviorisme ideologis ini. Model ujian nasional yang heboh itu sedikit banyak sebenarnya bisa dilihat sebagai bentuk aplikatif psikologi behavioristik dalam pendidikan dengan pemaknaan dan penekanan pada nilai hasil ujian yang terlalu (keterlaluan?) dominan.
Mendidik tubuh
Dalam pandangan behaviorisme, manusia tampak sebagai sosok tubuh jasmani, manusia badani yang merespons stimulus, hampir sama dengan hewan. Tentu saja, seperti kritik terhadap behaviorisme, manusia tidak hanya manusia bertubuh jasmaninya, tapi juga manusia yang memiliki kesadaran, perasaan, pemikiran, termasuk ketidaksadarannya. Tapi tidak mungkin mengabaikan dan menghilangkan tubuh. Tubuh manusia yang sangat spesifik dan memiliki sekian kelebihan juga menentukan pendefinisian manusia. Manusia adalah manusia sejauh masih bertubuh manusia. Seperti ditegaskan filosof pendidik Driyarkaya (2006: 192), “Yang bertumbuh dan berkembang ialah seluruh manusia dan bukan badan di samping roh sebab memang tidak ada badan di samping roh.”
Pada tubuh manusia, pendidikan dan pengajaran dipatokkan. “Maka dari itu, mendidik selalu berarti ‘mendidik badan’ (sebetulnya bukan hanya badan, tapi badan sebagai bentuk konkret dari manusia),” kata Driyarkara. Hal ini sudah disadari oleh manusia sejak dulu kala sampai pada kesadaran para ibu saat pertama kali mendidik-mengajarkan anaknya berbicara, makan, memakai pakaian, dan sebagainya. Kita juga melihat bahwa pendidikan-pengajaran dengan fondasi tubuh ini banyak digunakan dalam pendidikan agama seperti pendidikan moral atau sopan santun. Model pendidikan ini, meminjam kata Driyarkara, adalah “jasmani dirohanikan dan rohani dijelmakan“.
Dalam sejarah (pemikiran) pendidikan di Indonesia, kita melihat penekanan pada pendidikan-pengajaran tubuh ini, khususnya tangan, di Ruang Pendidik INS Kayu Taman yang didirikan tokoh pemikir pendidikan Mohammad Sjafei. Dalam salah satu karyanya, Dasar-dasar Pendidikan, Sjafei (1979: 92-94) mengatakan, “Seperti diketahui oleh ahli-ahli pendidik mata pelajaran, pekerjaan tangan di sekolah ilmu umum, bukan teknik tiap-tiap pekerjaan itu yang hendak dicapai, melainkan terutama sekali: jiwa suka bekerja.” Menurut Sjafei, pendidikan keterampilan teknik ini dalam prosesnya akan menjadi “alat mendidik jiwa” manusia. “Jika jiwa sekiranya tidak turut serta, melainkan otaknya saja yang berpikir begini-begitu, mungkin sekali kemauannya tidak timbul, terlebih-lebih kalau otaknya mengatakan bahwa pekerjaan itu sulit.”
Dan tentu saja pengajaran ilmu pengetahuan pada akhirnya juga merupakan sebuah keterampilan atau keahlian, yang juga sudah menubuh dan terbiasakan dalam diri seseorang. Hampir sama dengan tesis utama behaviorisme, pengajaran ilmu pengetahuan adalah suatu hasil latihan dan pembiasaan yang ditempakan pada tubuh, termasuk otak. Keterampilan bersifat jasmaniah dan sensibilia yang berbeda dengan pemahaman yang bersifat kesadaran atau rohaniah, maka perlu pengajaran dan pembiasaan untuk menguasainya. Pengajaran seorang yang hanya sampai pada memahami biasanya kurang bagus dan kurang kuat melekat pengaruhnya pada murid dibandingkan dengan pendidik-pengajar yang ilmunya sudah menubuh. Pemahaman, ditambah pembiasaan, merupakan kombinasi pengajaran yang efektif.
Dalam pandangan behaviorisme, manusia tampak sebagai sosok tubuh jasmani, manusia badani yang merespons stimulus, hampir sama dengan hewan. Tentu saja, seperti kritik terhadap behaviorisme, manusia tidak hanya manusia bertubuh jasmaninya, tapi juga manusia yang memiliki kesadaran, perasaan, pemikiran, termasuk ketidaksadarannya. Tapi tidak mungkin mengabaikan dan menghilangkan tubuh. Tubuh manusia yang sangat spesifik dan memiliki sekian kelebihan juga menentukan pendefinisian manusia. Manusia adalah manusia sejauh masih bertubuh manusia. Seperti ditegaskan filosof pendidik Driyarkaya (2006: 192), “Yang bertumbuh dan berkembang ialah seluruh manusia dan bukan badan di samping roh sebab memang tidak ada badan di samping roh.”
Pada tubuh manusia, pendidikan dan pengajaran dipatokkan. “Maka dari itu, mendidik selalu berarti ‘mendidik badan’ (sebetulnya bukan hanya badan, tapi badan sebagai bentuk konkret dari manusia),” kata Driyarkara. Hal ini sudah disadari oleh manusia sejak dulu kala sampai pada kesadaran para ibu saat pertama kali mendidik-mengajarkan anaknya berbicara, makan, memakai pakaian, dan sebagainya. Kita juga melihat bahwa pendidikan-pengajaran dengan fondasi tubuh ini banyak digunakan dalam pendidikan agama seperti pendidikan moral atau sopan santun. Model pendidikan ini, meminjam kata Driyarkara, adalah “jasmani dirohanikan dan rohani dijelmakan“.
Dalam sejarah (pemikiran) pendidikan di Indonesia, kita melihat penekanan pada pendidikan-pengajaran tubuh ini, khususnya tangan, di Ruang Pendidik INS Kayu Taman yang didirikan tokoh pemikir pendidikan Mohammad Sjafei. Dalam salah satu karyanya, Dasar-dasar Pendidikan, Sjafei (1979: 92-94) mengatakan, “Seperti diketahui oleh ahli-ahli pendidik mata pelajaran, pekerjaan tangan di sekolah ilmu umum, bukan teknik tiap-tiap pekerjaan itu yang hendak dicapai, melainkan terutama sekali: jiwa suka bekerja.” Menurut Sjafei, pendidikan keterampilan teknik ini dalam prosesnya akan menjadi “alat mendidik jiwa” manusia. “Jika jiwa sekiranya tidak turut serta, melainkan otaknya saja yang berpikir begini-begitu, mungkin sekali kemauannya tidak timbul, terlebih-lebih kalau otaknya mengatakan bahwa pekerjaan itu sulit.”
Dan tentu saja pengajaran ilmu pengetahuan pada akhirnya juga merupakan sebuah keterampilan atau keahlian, yang juga sudah menubuh dan terbiasakan dalam diri seseorang. Hampir sama dengan tesis utama behaviorisme, pengajaran ilmu pengetahuan adalah suatu hasil latihan dan pembiasaan yang ditempakan pada tubuh, termasuk otak. Keterampilan bersifat jasmaniah dan sensibilia yang berbeda dengan pemahaman yang bersifat kesadaran atau rohaniah, maka perlu pengajaran dan pembiasaan untuk menguasainya. Pengajaran seorang yang hanya sampai pada memahami biasanya kurang bagus dan kurang kuat melekat pengaruhnya pada murid dibandingkan dengan pendidik-pengajar yang ilmunya sudah menubuh. Pemahaman, ditambah pembiasaan, merupakan kombinasi pengajaran yang efektif.
M Fauzi Sukri ; Pemerhati Pendidikan,
Sedang meneliti gagasan Keguruan dalam Paguron di Jawa
TEMPO.CO, 07 November 2013
0 komentar:
Posting Komentar