Selasa, 17 Desember 2013

Pendidikan dan Peradaban Bangsa

Pendidikan yang digadang-gadang mampu memberikan perubahan menuju peradaban Indonesia yang lebih maju sepertinya masih jalan di tempat. Posisi Indonesia tidak juga bergeming dari rangking bawah dunia. Maka, membenahi secara berkesinambungan sistem pendidikan yang telah berjalan haruslah menjadi satu agenda utama pada setiap pemerintahan yang sedang berkuasa. Karena, sejatinya pendidikan bukanlah melulu sekadar pemenuhan kebutuhan ekonomi, tetapi sebuah strategi untuk membangun sebuah peradaban bangsa. Upaya perbaikan tersebut terus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai macam perubahan. Mulai dari perubahan sistem evaluasi akhir hingga perubahan kurikulum. Seperti, perubahan kurikulum kita yang bahkan sudah dilakukan 10 kali sejak kemerdekaan. Perubahan itu diikuti juga dengan perubahan sistem penilaian atau evaluasi akhir yang harus ditempuh oleh siswa. Itulah yang kemudian dikeluhkan banyak pihak, bahkan dikatakan sistem pendidikan kita seperti tanpa arah. Ganti menteri ganti kebijakan.
Setiap kali rencana perubahan diwacanakan, setiap kali pula pemerintah berjanji akan selalu mendengarkan aspirasi rakyat. Bahwa pendapat dan masukan semua pihak akan ditampung untuk penyempurnaan program yang akan digulirkan. Namun pada akhirnya, rakyat lebih sering dibuat kecewa. Wacana yang digulirkan seperti sebuah harga mati bagi realisasinya, diikuti dengan pemberian janji-janji manis, bahwa itulah yang paling tepat bagi bangsa ini.
Maka, tepatlah apa yang disuarakan oleh Abduhzen (2013), bahwa sebagai subordinasi sistem sosiopolitik, lingkungan pendidikan kita bukan saja tak mampu membebaskan diri dari nilai-nilai hipokrisi dan praktik korupsi, namun justru turut melestarikannya. Sebagai contoh, berbagai program pendidikan yang menjanjikan perbaikan dan kemajuan, seperti profesionalisme guru, Ujian Nasional (UN), Kurikulum 2013, dan seleksi masuk perguruan tinggi negeri, kenyataannya hanya isapan jempol. (Kompas, 30 Agustus 2013).
Contoh lain hipokrisi seperti yang dikatakan Abduhzen, terjadi juga dalam konvensi UN yang digelar 26-27 September 2013 lalu. Kemdikbud secara tegas menyatakan bahwa konvensi ini akan digunakan untuk menata jalannya UN serta membicarakan berbagai kelemahan pelaksanaan UN sejak diterapkannya. Kemdikbud bulat sikapnya bahwa UN tetap akan dilaksanakan sebagai penentu kelulusan, sehingga pelaksanaannya di ujung tahun, dan yang diperlukan sekarang adalah masukan perbaikan untuk pelaksanaannya.
Padahal jauh hari sebelumnya, ketika kegiatan konvensi ini masih dalam tataran wacana, dikatakan oleh Mendikbud bahwa konvensi ini akan mengundang tokoh dari berbagai pihak yang pro maupun kontra terhadap UN, nyatanya komposisi undangan sudah tak seimbang antara yang pro dan kontra, lebih banyak yang pro. Bahkan gagasan Konvensi UN berubah, bukan untuk mencapai kesepakatan perlu atau tidaknya UN, namun sekadar menata jalannya UN. Yaitu, membahas teknis penggandaan soal dan komposisi penentuan kelulusan UN. Inilah contoh terkini ketidak konsistenan yang dilakukan oleh Kemdikbud.
Demikianlah, angin segar untuk mendapatkan perubahan sistem pendidikan yang didambakan lebih sering bertiup sesaat, hingga pada akhirnya sama sekali berhenti berhembus. Banyak terjadi pengingkaran terhadap model demokrasi yang diagung-agungkan. Yaitu, “pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari stakeholders.” Yang menghendaki agar setiap ‘pemilik hak demokrasi’ diikutsertakan sebanyak-banyaknya. Implementasi good governance bagi pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituten, dan pemanfaat (beneficiaries) diakomodasi keberadaan masih jauh panggang dari api.
Semestinya kita belajar dari Finlandia. Negara tersebut 20 tahun lalu adalah negara miskin yang bergantung pada sektor agrikultur. Namun, mereka berhasil bangkit dan membutuhkan waktu hingga satu generasi. Ketekunan, Komitmen kolektif dan konsistensinya selama lebih dari 40 tahun dalam membangun sebuah sistem pendidikanlah yang akhirnya mengantarkan negara ini menduduki peringkat kualitas pendidikan nomor wahid dunia.
Sementara di Indonesia, beberapa hal justru memprihatinkan. Kurikulum yang memang mengadopsi dari Finlandia telah dimodifikasi sedemikian rupa, namun justru sistem evaluasinya sangat bertolak belakang dengan ruh-nya kurikulum ini. Ujian Nasional dengan model pilihan ganda tetap akan diberlakukan pada 2014 mendatang.
Sementara K-2013 mengamanahkan pola berpikir kritis yang diwujudkan dalam tindakan nyata dengan membangun kolaborasi di antara pelaku pendidikan (guru, siswa, pengelola), mengevaluasi proses secara terus-menerus melalui pemantauan proses dan capaiannya secara ketat, penilaian berdasarkan kemajuan siswa dalam pembelajaran (relatif terhadap dirinya pada periode sebelumnya), dan hasil akhir dapat berbeda bagi tiap siswa sesuai dengan bakat dan minatnya. Maka, sudah seharusnya segera diformulasikan bentuk evaluasi belajar yang paling sesuai.
Pendidikan adalah sebuah proses human investment, sehingga juga merupakan aset paling penting dalam pembangunan. Perselingkuhan antara kekuasaan dan kapitalisme pendidikan mengarah pada kecenderungan politisasi pendidikan. Hal itu terbukti telah mengebiri tujuan pendidikan itu sendiri. Namun, keterlibatan pemerintah dalam urusan pendidikan tidak bisa dipotong sama sekali, Mushthafa (2013)
Memposisikan pendidikan sebagai strategi pembangunan peradaban bangsa berarti bahwa proses ini melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pendidikan bukan hanya urusan sekolah, tetapi juga urusan keluarga, organisasi atau perkumpulan sosial dan masyarakat. Sehingga, kolektivitas ini tidak sekedar menjalankan amanat demokrasi, namun juga akan menukik kepada tercapainya harapan pendidikan yang mampu meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Semoga.

Arifah Suryaningsih ;  Pendidik,
Alumnus Manajemen Kepengawasan Pendidikan di MM UGM
SUARA KARYA, 08 November 2013

Artikel ini diambil dari : http://widiyanto.com/pendidikan-dan-peradaban-bangsa/


0 komentar:

Posting Komentar