Selasa, 17 Desember 2013

Negeri Para Pencuri

Tidak berlebihan kalau Indonesia dikatakan negeri para pencuri. Mulai dari pencuri burung piaraan hingga pencuri harta negara. Ada pencuri kelas ecek-ecek dengan strategi yang tak terlalu rumit. Ada pencuri berkelas tinggi yang membutuhkan taktik yang sangat sistematis dan canggih. Tetapi sayang sekali, untuk pencuri kategori kedua (maling harta negara), ganjaran awalnya tak seperti pencuri tipe pertama, yang seringkali dihajar babak belur terlebih dahulu oleh massa.Untuk memberikan satu contoh dari sekian banyak tamsil tentang dihajarnya pencuri kelas sandal jepit, yaitu di Solo Jawa Tengah, ada residivis spesialis pencuri burung bernama Tintus Joko Wibowo (25) alias Tintus yang dihajar massa menyusul kepergok mencuri burung Love Bird, (www.krjogja.com, 20/10/2013). Saya mengandaikan ada berita utama koran atau televisi dengan judul “Koruptor Dihajar Babak Belur oleh Massa”. Tetapi saya yakin, ini tidak mungkin terjadi. Entah masyarakat yang takut menghajar koruptor atau koruptornya yang memang seperti mastodon yang menakutkan masyarakat, sehingga belum perlu dalam sejarah ada koruptor babak belur dihajar massa. Padahal, tak diragukan lagi, baik pencuri burung maupun pencuri uang negara, sama-sama maling yang seharusnya mendapat perlakuan sama.
Menemukan rasa keadilan di negeri hukum bernama Indonesia memang tidak mudah. Putusan atau vonis sering kali tidak pernah membuat para pelanggar jerah, terutama pelanggar hukum berat. Hukum, yang berfungsi sebagai alat untuk “mengkapokkan” mereka yang bersalah, tak jarang justru dipermainkan oleh penegak hukum. Akibatnya, hukum tidak lagi berwibawa dan cenderung bersifat remeh-temeh.
Tentu saja realitas penegakan hukum seperti ini tidak mengajarkan pendidikan hukum bagi publik. Justru yang terjadi adalah pembangkangan hukum oleh masyarakat. Rakyat tidak lagi percaya pada penegak hukum. Pada akhirnya, dramaturgi penegakan hukum yang rusak ini akan menggiring ke arah pengerdilan hukum. Hukum tidak lagi tampil garang, melainkan sudah berubah menjadi badut-badut yang siap menghibur para penonton pertunjukan hukum.
Anehnya, berbagai upaya meremeh-remehkan hukum di negeri ini terus saja dilakukan tanpa ada penghentian secara tegas dan berani dari seorang presiden sebagai pemimpin bangsa dan negara. Presiden seakan tidak berdaya menghadapi semua ini. Tuntutan para intelektual, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat akar rumput yang mencoba menghentikan ambruknya penegakan hukum sudah sering digaungkan. Namun, kenyataannya masih jauh dari harapan. Cita-cita menegakkan wibawa hukum hanya tinggal cita-cita tanpa ada wujudnya. Reformasi sebagai “pintu masuk” menegakkan supremasi hukum dan memberantas berbagai tindakan penyelewengan, masih saja sebatas retorika politik jualan kecap para pejabat di negeri ini.
Kekuatan hukum tidak mampu menyeret para penjahat kerah putih. Kekuataan hukum hanya mampu mengadili penjahat-penjahat kelas teri. Maling uang negara dihukum dengan ringan bahkan dibiarkan bebas. Sementara maling ayam diproses secara ketat dan dihukum berat. Padahal, satus mereka adalah sama, yaitu maling yang harus diadili.
Sementara itu, kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus hukum, misalnya korupsi, masih menjadi bagian dari masalah penegakan hukum. Mereka melempen menghadapi “siluman-siluman hukum” dengan modal uang dan kekuasaannya. Akibatnya, masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia. Sungguh sangat ironis dan menyedihkan. Negara dalam darurat banalitas hukum dan kehancuran peradaban. Di sinilah kita menyaksikan baju kekuasaan dan uang membuat dosa semakin berkuasa.
Budaya Rendah
Istilah peradaban sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkembangan kebudayaan. Peradaban yang mengandung unsur-unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan, luhur dan sebagainya, maka masyarakatnya dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang melekat pada budaya kasar, jorok, tidak sopan, remeh, dan lain sebaginya dikatakan masyarakat dengan peradaban yang rendah.
Harus diakui bahwa seluruh komponen negara akan tersesat tanpa hukum dan peraturan. Dihukumnya koruptor dengan pidana ringan atau bahkan dibebaskannya koruptor dari segala pidana adalah tontonan yang menyedihkan sekaligus mengerikan ketika hukum absen yang kemudian mendorong runtuhnya peradaban bangsa Indonesia. Tidak diberangusnya koruptor karena banalitas penegakan hukum tidak hanya dilihat dari beratnya beban negara, tetapi juga harus dibaca sebagai bagian dari runtuhnya peradaban.
Ambruknya peradaban juga bisa dilihat dari berkoarnya pemegang kekuasaan misalnya, hidup reformasi, berantas KKN, tegakkan hukum, adili pelanggar hak asasi manusia (HAM). Tapi, semua hanya teriakan saja. Rakyat akhirnya terpental jauh berada dalam situasi hyper-reality of law, yaitu ruang yang disarati dengan kebohongan barang bukti, kepalsuan saksi, pemutarbalikan fakta, penopengan realitas, dan sebagainya. Mereka yang mestinya direformasi malah berteriak, hidup reformasi. Mereka yang terlibat KKN, malah teriak, berantas KKN. Mereka yang terlibat kasus kekerasan HAM, justru bebas ikut mengatur negeri ini.
Jadi, sudah saatnya realitas rapuh dan penegakan hukum yang tidak bermutu mengakibatkan rendahnya peradaban bangsa harus disikapi secara radikal oleh seluruh elemen bangsa (pemerintah, masyarakat, tokoh agama, intelektual dan sebagainya) untuk perbaikan peradaban. Negara dengan seluruh komponennya perlu bersinergi serius dan konsisten menegakkan hukum dengan budaya yang luhur. Penegakan hukum secara adil dan tidak memihak harus diperjuangkan demi tercapainya peradaban bangsa yang tinggi.
Ahmad Ubaidillah ; Mahasiswa pada program Magister Studi Islam UII Yogyakarta
SUARA KARYA, 07 November 2013

Artikel ini diambil dari : http://widiyanto.com/masa-depan-sekolah/

0 komentar:

Posting Komentar